Kurikulum 2013 ibarat "pertandingan sepak bola". Bagaimana maksud pernyataan tersebut? Simaklah opini dibawah sebagai tambahan wawasan terkait dengan kurikulum 2013 yang sedang gencar dibicarakan kalangan guru, anggota profesi keguruan, dan praktisi/pengamat pendidikan. Semoga bermanfaat :)
Surabaya (ANTARA News) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pernah mengibaratkan pro-kontra Kurikulum 2013 seperti pertandingan sepak bola.
"Ibarat pertandingan sepak bola, mereka yang menolak kurikulum baru
itu penonton, sedangkan pemain dan wasit dapat menerimanya," katanya
dalam sebuah pertemuan dengan guru PGRI se-Jatim.
Ibarat Mendikbud itu agaknya benar, karena para guru, anggota
profesi keguruan, dan praktisi/pengamat pendidikan yang sudah menyimak
kurikulum baru itu umumnya dapat menerima.
Jika para guru umumnya dapat menerima, karena beban yang ditanggung
selama ini justru menjadi ringan dengan adanya kurikulum baru itu, maka
para praktisi/pengamat menerimanya dengan catatan.
Catatan itu antara lain datang dari pengamat pendidikan
Darmaningtyas yang juga merupakan salah satu anggota tim perumus
Kurikulum 2013 yang ditunjuk Mendikbud.
"Kurikulum 2013 itu sendiri bukan sesuatu yang baru, karena
merupakan kombinasi dari cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)," ucapnya di Sidoarjo (14/5).
Dalam forum kajian ilmiah bertajuk "Arah Pendidikan Nasional di Era Global" yang diselenggarakan Dewan Pendidikan Jawa Timur, ia menjelaskan CBSA dulu gagal, karena masyarakat belum siap.
"CBSA itu mengajarkan murid bersikap kritis, tapi orang tua belum
siap. Ketika murid bersikap kritis, seringkali justru memicu benturan
dengan orang tua yang masih bersikap konservatif," ungkapnya.
Hal yang sama, menurut dia, juga melingkupi penerapan Kurikulum
2013 yang sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaksiapan guru, karena
mayoritas guru baru memahami KTSP, tapi tiba-tiba ada rencana perubahan menjadi Kurikulum 2013.
"Karena itu, perlu waktu agar semuanya siap, saya kira hal itu
lebih baik daripada nanti ada masalah baru," tutur pria yang akrab
dipanggil Tyas itu.
Catatan yang tidak berbeda juga datang dari Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) Jawa Timur yang meminta penundaan pelaksanaan
Kurikulum 2013 hingga tahun ajaran 2014/2015.
"Para pengajar belum tersentuh dengan kurikulum baru (2013). Guru
yang mata pelajarannya hilang atau disatukan butuh waktu untuk
penyesuaian dengan penerapan kurikulum tersebut," ujar Ketua PGRI Jatim,
Ichwan Sumadi, di Surabaya (2/5).
Bercermin dari pelaksanaan UN (Ujian Nasional) 2013 yang karut
marut, PGRI mengusulkan ke Kemendikbud untuk dua hal yakni prioritas
pemberdayaan guru dan menghapus UN.
Hal yang sama juga dikemukakan pengamat pendidikan yang pernah
menjadi anggota Dewan Pendidikan Jatim, Prof Daniel M. Rosyid. Bahkan,
secara ekstrem, ia mengibaratkan bahwa kebutuhan utama bukan perubahan
kurikulum, tapi perubahan guru dan budaya belajar.
"Guru harus profesional, jangan diintervensi birokrat pendidikan
dan wali murid, tapi pembinaannya dilakukan oleh organisasi profesi
guru. Budaya belajar juga dikembangkan dengan membangun budaya membaca
yang sehat, pengalaman dan praktik diskusi kelas, budaya menulis, lalu
beri kesempatan luas untuk berbicara," tukasnya.
Ujian Nasional
Catatan kedua terkait Kurikulum 2013 adalah sistem evaluasi melalui
ujian nasional (UN) yang justru dinilai terlalu kognitif, padahal
Kurikulum 2013 sendiri menampung tiga aspek (kognitif, perilaku,
keterampilan).
"Saya setuju UN, sepanjang tidak dimaksudkan untuk penentu
kelulusan, tapi hanya sebagai alat pemetaan kualitas dan hanya menjadi
milik pemerintah. Kalau kurikulum baru diterapkan, tapi evaluasinya
menggunakan UN berarti ada inkonsistensi," kata pengamat pendidikan
Darmaningtyas.
Sebagai alat pemetaan, pelaksanaan UN tidak mesti di ujung (kelas
akhir), tapi bisa di tahun kedua. Pelaksanaannya juga tidak harus tiap
tahun, tapi bisa dua tahun sekali.
"Hasilnya, sekolah yang nilai hasil UN-nya rendah, justru harus
didukung dengan dukungan anggaran dan program. Pada tingkat tertentu,
akan terjadi pemerataan kualitas pendidikan. Kalau seperti sekarang,
hasil UN justru memicu kesenjangan antara sekolah maju dan sekolah
pinggiran. Yang menjadi korban adalah sekolah pinggiran," tandasnya.
Dengan cara itu, pendidikan akan berkontribusi dalam terciptanya
ketahanan nasional dan ketahanan sosial. Kalau pendidikan hanya memicu
kesenjangan, maka akan muncul kecemburuan dan hilangnya solidaritas
antara si kaya dan si miskin.
Hal senada juga disampaikan peneliti JPIP dan Wakil Sekretaris
Dewan Pendidikan Jatim, Nur Hidayat. "Perhatian terhadap UN membuat
pemerintah lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia di bidang
pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru," ujarnya.
Menurut dia, rapat kerja nasional (rakernas) Depdiknas pada 15-17
Juli 2003 menetapkan sekolah sebagai penyelenggara UAN (UN) mulai 2004
dan Depdiknas hanya memberikan pedoman dan beberapa materi soal UAN/UN
yang harus diujikan sekolah sesuai dengan standar nasional dan tidak ada
lagi UAN/UN ulangan.
"Maksud pemberian wewenang kepada sekolah itu adalah mutu lulusan
sekolah meningkat melalui pemberian soal UAN/UN. Ujian sekolah pun tidak
lagi berupa soal pilihan ganda, tapi jawaban tertulis (esai)," ucapnya,
menegaskan.
Ketetapan/keputusan lain, Depdiknas membentuk Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (LPMP) yang bertugas menilai pelaksanaan UAN/UN di sekolah.
Jika sekolah tidak serius melaksanakan UAN, maka akreditasi sekolah
dinyatakan rendah.
"Keputusan untuk mengembalikan UAN/UN ke sekolah dan pemerintah
hanya melakukan pemantauan mutu UAN/UN di sekolah tersebut, sebenarnya
amat sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan dan UU
Sisdiknas," tuturnya.
Saat ini, semangat itu ada lagi. Ada usulan UN dilaksanakan di
tingkat daerah, ada juga usulan UN meniru UKG dengan "UN online"
(daring). Semangat itu diyakini akan mengembalikan pelaksanaan UN yang
otonom dan akuntabel serta menjauhkan dari praktik tidak terpuji
(bocor).
Ketika dikonfirmasi tentang perubahan UN dalam Kurikulum 2013, staf
khusus Mendikbud, Sukemi, menegaskan bahwa UN pasti akan berubah,
karena unsur penilaian dalam Kurikulum 2013 juga berubah.
"Tapi, tentu tidak serta merta, karena Kurikulum 2013 diterapkan
bertahap dan siswa yang menerima Kurikulum 2013 untuk pertama kalinya
baru kelas satu SD, SMP, dan SMA. Jadi, kurikulum baru itu akan
benar-benar berlaku untuk semuanya dalam kurun tiga tahun," katanya.
Terkait bentuk perubahan UN itu, ia menambahkan Kemdikbud berencana
menggelar Konvensi Nasional tentang sistem pendidikan. "Nanti, semuanya
akan dibicarakan, termasuk UN itu," tukasnya.
Agaknya, Konvensi Nasional Pendidikan akan dapat menjadi jawaban
untuk menyempurnakan posisi Kurikulum 2013, termasuk jika penyempurnaan
itu memerlukan waktu (penundaan setahun) dan evaluasi UN, sebab
Kurikulum 2013 harus menjadi "kado" bagi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar